Selasa, 06 Januari 2009

Belajar dari Konflik

Konflik yang tidak berujung seperti kasus Israel-Palestina sudah bukan hal yang wajar lagi. Seluruh dunia mengecam, tetapi, tak ada satu negarapun mampu membantu mengatasi permasalahan ini. Dari dulu sampai sekarang, sebab permasalahan yang terjadi tidak berubah. Sungguh sangat disayangkan dan dibutuhkannya perhatian. Seharusnya, dunia bukan hanya mengecam. Tetapi, bagaimana membantu mengatasi permasalahan antar kedua kubu ini. Sehingga, tercipta kerukunan beragama dan kerukunan antar Negara.
Sikap mengirimkan para mujahidin ke Palestina, mungkin bagi sebagian orang yang merasa bersimpati adalah jalan terbaik. Tetapi, coba kita telaah lebih dalam. Apa makna pengiriman para mujahidin ke Palestina. Sesungguhnya, dengan mengirim para mujahidin ke Palestina, akan memperparah keadaan, menolong dengan mengatas namakan agama, lama-lama akan memicu perang saudara, dan ujung-ujungnya ke perang antar agama.
Tentunya kita tidak ingin hal itu terjadi, sebagai sesama Islam, kita memang patut untuk berbelasungkawa, berempati dan bersimpati terhadap saudara-saudara kita. Bukankah muslim yang stau dengan yang lainnya adalah saudara? (al-Hadits) Tetapi, bisakah sikap empati kita jangan melampaui permasalahan kekerasan? Bukankah dengan cara mengirimkan bala bantuan berupa tenaga, lambat laun akan memicu kekerasan-kekerasan lainnya, yang berujung pada peperangan? Coba kita mulai berfikir secara jernih, bantuan tidak selamanya pada tenaga. Bantuan bisa saja berbentuk materi, berusaha mencoba membantu jalan keluar. Sikap inilah yang belum terpikirkan oleh kita.
Agama selalu berusaha memasukkan nilai-nilai manusiawi terhadap kekuasaan yang dibatasi pada langkah tekstual, tidak kontekstual. karena itulah, agama sering dipolitisasi, diplintir dan diperas menjadi alat kekuasaan untuk mencapai tujuan-tujuan kotornya. Penafsiran sering merugikan, karena ditafsir oleh berbagai kelompok dengan kepentingan kelompok tersebut. Hal ini terjadi karena pengabaian pluralitas kehidupan beragama.
Konflik selalu identik dengan permasalahan, yang ujung-ujungnya pertumpuhan darah. kebanyakan konflik, timbul dari kesalahfahaman. Konflik tidak akan terjadi, jika kita mau membuka diri, mau mendengar. Bagaimana cara kita membuka diri guna tidak terjadinya kesalahfahaman? mungkin itu yang belum bisa kita cerna, kita fahami, dan perlunya kita kembali untuk tahu, dan pentingnya untuk kembali belajar "mendengar". Hal sepele ini, bisa dijadikan sebagai penyulut terjadinya konflik.
konflik, sudah bukan lagi hal yang luar biasa kita dengar. Seharusnya, dengan banyaknya model konflik yang pernah kita lihat, setidaknya mampu kita atasi. Bukankah sepanjang sejarah manusia, konflik selalu ada? Bukankah di masa-masa awal, kisah Qabil dan Habil sudah cukup menjadi objek pembelajaran kita?
konflik antara Palestina dan Israel, setidaknya sudah bisa diatasi. Mengingat, konflik ini sudah sangat berkepanjangan, kenapa juga belum bisa teratasi? Mari, jadikan renungan. Konflik-konflik yang ada, jangan hanya sebagai pengisi agenda setiap tahun dalam sepanjang sejarah manusia. Mari tanamkan, belajar dari konflik, sehingga kita tidak terjetumus dalam konflik-konflik selanjutnya. amin.. wallahu a'lam bis shawab.

Tidak ada komentar: